Detak Detik Kecewa





Saya menjatuhkan sebagian hati saya kepadanya, hampir seluruh detak jantung saya berikan kepadanya, kepada ia yang saya kagumi sejak saya berusia 18 tahun. Begitu singkatnya dengan beberapa detik bersama saya merasa dunia saya mulai berpusat padanya, lalu fikiran mulai dipenuhi olehnya. Garis mata tipis dan tatapan sayu itu selalu ingin saya pandangi di setiap detik hidup ini. Saya terus merindukannya, saya terus menunggu kabar tentangnya. Seketika saya bingung perasaan apa yang membuat saya tenggelam olehnya, saya khawatir terbawa arus terlalu jauh dan semakin hari saya merasakan semakin dalam, dalam sekali. Untuk kesekian kalinya saya mengerti bahwa jatuh cinta itu wajar dan tak mampu untuk mencegahnya. Lalu saya terdiam menghela nafas.

Semua butuh ruangnya sendiri, ketika saya menempatkannya di ruang yang paling indah tiba-tiba ia menghilang. Raganya ada namun jiwa-jiwa yang dulu saya kenal bukan lagi ada padanya. Semua telah berubah sejak ia mengenal orang lain, seseorang yang entah bagaimana bisa sebegitu cepatnya ia mengubah pribadinya juga dunianya. Lalu.. kini saya hampir habis daya, saya tidak dapat berkata apa-apa, saya tidak dapat menyangga keadaan ini bahwa hati dan jiwanya sudah bukan lagi milik saya. Terkadang saya bingung ketika saya harus merasakan rindu bagaimana mengutarakan kepadanya, saya simpan sendiri berharap Ia tau, tapi tak sedikit pun Ia menengok ke arah saya, sekedar menanyakan keadaan misalnya, namun tak begitu nampaknya.

Jantung saya hampir berhenti berdetak, semua perasaan yang saya simpan hampir mati rasa. Saya merasa antara kecewa terhadap diri saya atau malah benci terhadap perasaan saya kepadanya. Detik-detik yang saya rasakan kini tak semanis dulu. Getir sekali ketika saya merasakan harus merelakannya atau malah harus menaruhnya di ruang ini selamanya yang mungkin menurutnya ini bukanlah tempat ternyamannya. Bagaimana bisa detik yang kita miliki saat itu dan perasaan-perasaan lelah sekaligus indah yang hampir 2 tahun lamanya saya alami itu tergantikan oleh apa yang kamu rasakan baru-baru ini.

Terkadang muncul rindu-rindu ini, namun Ia nampaknya tak merasa kepada siapa rindu ini tertuju, ribuan puisi bersajak kenangan, bayang, lalu Ia dan lagi-lagi selalu Ia yang saya tulis. Sulit sekali rasanya menaruh suudzan kepadanya, kepada rasa ini. Saya selalu beranggapan bahwa Ia akan kembali, ia hanya sedang beristirahat di tempat lain, ia tak ada sangkut pautnya dengan tempat baru itu. Bagaimana? Bukankah itu bodoh??.. selalu berhusnudzan sedang saya merasa terhempas. Kesalahan saya membiarkannya masuk ke dalam hidup tanpa bertanya dahulu apa tujuannya singgah, sekedar beristirahat atau ingin menetap.

Akhirnya saya harus merelakan, melupakan. Mungkin butuh tekad bulat sepenuh hati untuk bergegas melupakan, karena saya mengerti segala sesuatunya memang harus disertai niat sepenuh hati. Saya merelakannya, bila mungkin Ia datang kembali saya mungkin bisa menyambut hangat namun tidak dengan hati saya. Saya mundur selamat tinggal sosok spesial inspiratif, selamat tinggal sajak-sajaku, selamat tinggal jantung puisiku, selamat tinggal rindu. Selamat tinggal kamu segala Ambisiku 💕




Comments

Bimbang

Bimbang

Between Crowded and Silence